Saya ini tipikal manusia melankolis, yang perfeksionis, analitis dan penuh pikiran. Untuk melakukan segala sesuatu, terlebih dahulu membuat perencanaan dan persiapan. Seperti prinsip "sedia payung sebelum hujan". Mungkin ini karena alasan, agar hasilnya sempurna dan sesuai dengan ekspektasi. Sisi buruknya, saat kejadiannya tak sesuai dengan ekspektasi, malah sakit sendiri.
Bukan manusia namanya jika tak berubah, apalagi mengubah hal-hal yang tak menyamankannya. Maka saya pun berubah. Mengubah persepsi dan ekspektasi. Tetap merencanakan dan mempersiapkan segala sesuatunya, namun menyerahkan hasil akhirnya pada-Nya, sesuai dengan ridho-Nya.
Saya pun berubah, setiap waktu. Mengubah hal-hal yang tak menyamankan. Terus belajar untuk menjadi versi diri yang lebih baik. Saya di hari ini, bukanlah saya di hari kemarin. Walaupun saya di hari ini, berasal dari saya di hari kemarin. Sehingga saya pun sering kali terkejut dengan diri saya sendiri.
Sunrise di Palm Hills |
Seperti ketika setelah selesai bersepeda ke Palm Hills, tiba-tiba muncul keinginan untuk melanjutkan gowes ke Batu Lawang. Apalagi kemudian dilandasi dengan rasa rindu ingin ke sana lagi dan menikmati sejuknya suasananya. Maka langsung saja eksekusi, walaupun secara persiapan kurang. Cuma membawa minum, apalagi hanya baru sarapan segelas susu cokelat.
Nekad, mungkin itu nama yang pas. Kehilangan logika, itu keadaan selanjutnya. Seperti bukan saya banget, 'kan? Iya, di Palm Hills yang gak sebegitu tinggi tanjakannya saja, saya banyak mendorong sepeda, apalagi di Batu Lawang dengan banyaknya tanjakan ekstrimnya.
Muncak di Palm Hills |
Yang terjadi, gak jauh-jauh dari acara mendorong sepeda, walaupun tanjakannya masih biasa. Mungkin karena energi sudah terkuras saat di Palm Hills. Jadinya banyak berhenti. Baik untuk memotret keadaan sekitar dan untuk beristirahat. Alon-alon asal kelakon, begitu prinspinya.
Ngeteh dulu, biar kuat dorong sepeda |
Sepanjang jalan menyemangati diri sendiri |
Sudah jauh berjalan, sudah lama juga, kok ya belum sampai tujuan? Saya salah mengukur. Memang sudah dua kali ke sana, tapi dengan motor, bukan dengan sepeda. Karena sudah komitmen dengan keinginan, maka saya terus menjalaninya. Masih semangat bersepeda dan mendorong sepeda walaupun disuruh muter balik sama rombongan pesepeda yang berpapasan di jalan.
3 bapak tangguh |
Takdir Gusti, di setengah perjalanan bertemu dengan 3 bapak pesepeda (Pak Waluyo, Pak Ikrar, dan Pak Solihin). Cewek sendirian, nyepeda ke gunung, membuat saya disaluti. Dan semakin disaluti karena melihat sepeda saya masih level bawah. Saya kaget. Saat membandingkan dengan sepeda mereka, jauh sekaliiiii. Sepeda puluhan juta dengan sepeda dua juta. Bukan masalah sepedanya kan, yang penting semangatnya.
Janaka, yang masih level newbie :D |
Saya pun bergabung, sehingga kami bersepeda berempat. Mungkin karena efek ada temannya, semangat bertambah, walau acaranya masih banyak mendorong sepeda, apalagi tanjakannya mulai ekstrem. Banyak juga istirahatnya. Memaksakan diri bukan hal yang baik, apalagi yang dituju tempatnya, bukan waktu tercepatnya.
Di tanjakan ekstim ke sekian |
Bersama mendorong sepeda :D |
Istirahat chapter ke sekian |
Tantangannya bukan hanya di situ, karena untuk menuju ke sana harus melewati jalan kecil khas gunung : terjal dan penuh batu. Sepeda dititipin di warung depan musholla. Awalnya para bapak berkeinginan membawa sepeda, tapi setelah saya bilang jalannya susah, dititipkan juga sepedanya. Setelah menjalani jalannya, keputusan menitipkan sepeda sangatlah tepat.
Jalannya seterjal ini, sampai merangkak. |
Di titik pertama, kami bertemu dengan 2 anak motor (Kang Asep dan Kang Aried). Langsung gabung dan akrab begitu saja. Mungkin karena kesamaan tujuan. Merasa senabis dan sekesenangan. Peralatan dokumentasi mereka sangat lengkap, DSLR dan drone. Jadilah semakin lengkap menangkap moment dan keindahan. Jauh lebih luas cakupannya daripada wide angle.
Di titik pertama, ketemu dengan Kang Asep dan Kang Aried. |
Setelahnya, kami menuju ke Batu Lawangnya. Dua buah masa batu yang terjeda, sehingga menyerupai pintu. Mungkin karena itu dinamakan Batu Lawang.
Watu Lawang |
Lagi mikir, naik batunya atau gak. |
Di depan batunya, saya mikir. Seingat saya, dulu batunya gak seterjal ini. Saya bisa naik dan aman, bisa untuk duduk. Tapi sekarang kenapa seperti ini? Vandalisme kah? Sekarangpun dipasang tangga untuk naik dari satu massa batu ke massa batu lainnya.
Saya masih menimbang, naik atau gak. Apalagi bawahnya jurang yang sangat dalam. Salah langkah, terpeleset, bisa jadi tinggal nama. Pak Waluyo yang sudah di atas batu meminta saya naik dan berjanji membantu. Iya sih, masa sudah jauh ke sini gak naik batunya. Kurang afdol. Saya pun naik.
Kang Aried yang puas bangetttt |
Pak Waluyo dan Kang Asep |
Kami berenam sudah di atas batunya. Bukan batu tertingginya. Yang ke batu tertingginya hanya Pak Ikrar dan Kang Aried. Ingin naik sih, tapi energi sepertinya low. Ke batu ini saja sudah prestasi, walau pun dibantu. Hehehe.
Mendamaikan diri, hanya naik sampai batu ini saja. |
Kami berfoto, mengabadikan moment dan ngobrol-ngobrol di atas batunya. Mengagumi dan mempelajari keindahan ciptaan dan alasan penciptaan-Nya. Pegunungan yang diletakkan di dekat perairan besar tentunya karena alasan yang untuk kebaikan manusia. Sayangnya karena ego dan ketidaksadaran, gunung-gunung malah dirusak dengan berbagai alasan.
Pak Ikrar |
Pak Solihin |
Naik batunya dibantu, begitu juga turun batunya. Kesemuanya membantu si cewek nekad. Mengarahkan ke mana tangan dan kaki harus berpegangan dan menumpu. Bahkan kaki sampai dipegang dan ditumpukan, agar gak merosot turun. Bawahnya bukan kasur, tapi jurang dalam.
Setelah melewati jalan terjal berbatu, kami sampai kembali di musholla. Kepala yang panas dan badan yang limbung, terasa sedikit segar setelah terkena air. Usai salat, dilanjutkan dengan makan dan mengistirahatkan diri.
Menimbang diri, rasanya gak sanggup untuk bersepeda pulang. Meminta nebeng, Puji Gusti diperbolehkan. Saya dibonceng Kang Aried, sementara sepeda ditaruh di tengah dengan posisi terbalik. Perjalanan turun gunung dan pulang yang sungguh menegangkan dan menyiksa hehe.
Abaikan kerudung yang berantakan dan wajah lelahnya :D |
Hembusan angin yang cukup kencang itu, membuat sepeda terdorong ke belakang menimpa badan saya. Puji Gusti, di jok belakang motornya ada box, sehingga saya bisa bersandar, gak terdorong jatuh ke belakang. Apalagi bobot sepeda lumayan berat--berat ditambah laju angin sekian knot :D
Yang awalnya nebeng sampai jalan raya, agar sinyal full dan bisa memesan taksi online atau angkot, Puji Gusti diantar sampai rumah. Mungkin karena gak tega ngebiarin cewek sendirian menerima konsekuensi atas kenekadannya. Walau sepanjang perjalanannya penuh ketegangan--laju angin yang kencang, sadel yang menekan paha, pedal yang menekan bahu, tangan yang kram memegangi sepeda, posisi sepeda yang miring kiri--tapi sungguh istimewa, mengajarkan saya bahwa keinginan yang spontan itu harus ditebus dengan banyak hal, dengan akibat yang lumayan buat kapok. Ya kapok ke sana lagi kalau harus bersepeda.
Dari hari sabtu itu, ketemu 3 bapak tangguh, hingga hari ini, saya masih terus dinasihati agar gak bersepeda jauh sendirian, apalagi kalau ke Batu Lawang. Saya paham sih alasannya dan kekhawatirannya, namun sesekali nekad yang gak masalah 'kan? hehe. Yang disyukuri, kenekadannya seolah direstui Gusti dan didukung semesta. Dengan mempertemukan teman-teman seperjalanan dan teman-teman yang membantu. Tulus membantu walaupun baru kenal. Puji Gusti.
Saya teringat dengan ucapannya Eyang, yang hampir serupa dengan ucapannya Ramanda, bahwa tak perlu takut berjalan sendirian karena Gusti selalu ada mengawasi dan menemani. Tetap berusaha menjaga dan mempersiapkan, namun hasil akhirnya diserahkan penuh pada Gusti.
Viewnya mantap jiwa |
Terima kasih untuk Pak Waluyo, Pak Ikrar, dan Pak Solihin, yang telah menemani mendorong sepeda serta menyemangati hingga akhirnya sampai puncak. Terima kasih juga untuk Kang Aried dan Kang Asep yang sudah mengantarkan pulang sampai rumah. Semoga takdir Gusti kembali mempertemukan kita, entah dengan suratan takdir yang bagaimana.
Keinginan seringkali membuat pelakunya nekad, kehilangan logika, bahkan kehilangan rasa takutnya. Ketika keinginannya direstui Gusti, maka semesta pun mendukung. Dengan mendatangkan teman-teman yang mendukung dan membantu. Teringat ucapan seseorang, "cukup diniatkan dan biarkan Gusti mewujudkan dengan cara-Nya". Semakin berperjalanan, akan semakin paham. Tapi ketika mata telah ditundukkan dan hati semakin dibuka.
Semoga semua mahluk penghuni semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keselarasan serta keseimbangan.
Cilegon, 29 Juni 2020.
Waiting you on the top. The top of earth and heart
Makasih mbak udah di masukin ke blog ini, mampir juga ya mbak ke blog saya
BalasHapusSudah mampir Kang. Efeknya : mupeng mau travelling hehehe
Hapus