Menjadi anak lapangan itu, harus siap menghadapi hukum kepastian. Bahwa : yang pasti adalah ketidakpastian. Tidak pasti kapan waktu pergi dan pulang kerjanya. Tidak pasti akan bekerja di pabrik mana dan di daerah mana. Bahkanpekerjaan yang sudah dipastikan pun, bisa jadi gagal dilakukan.
Sejak kembali dari Tangerang di awal Maret lalu, kerjaan padat merayap. Seringnya 5 atau 6 hari dalam seminggu ke pabrik, sehingga weekend justru membuat laporan. Menjalanan konsekensi. Kepadatan itu, nyatanya terus berlanjut sampai ramadhan. Bahkan kerjaan di ramadhan tergolong ekstrim. Selain cuaca yang semakin terik, juga medan kerja yang banyak berhubungan dengan ketinggian. Naik turun tangga dengan nilai elevasi yang lumayan tinggi, berada di area boiler dan sebagainya.
Kepadatan pekerjaan itu, pelan-pelan membuat tubuh protes. Kelelahan mulai terjadi. Tubuh sering meminta waktu istirahat yang lebih lama daripada biasanya. Sudah istirahat lama pun, belum juga merasa segar dan fit. Afirmasi-afirmasi dilakukan, namun masih belum membantu.
Minggu akhir april, jadwal tak sepadat sebelumnya. Bisa sedikit bernafas lega. Sudah ingin istirahat di jumat. Maksudnya jumat hanya ingin berdiam diri kantor, sehingga muncul doa semoga di jumat tidak ada kerjaan mendadak dangdut, seperti yang sudah-sudah.
Yang terjadi, seringnya tak seperti yang diharapkan. Termasuk kali ini. Jadwal mendadak tiba-tiba muncul untuk hari jumat, tempatnya pun di area project yang terkenal dengan cuaca esktrim. Mau tak mau, tetap dijalankan.
Sesampainya di sana, diharuskan mengantre untuk ditest antibody, bersama para vendor lainnya. Setelah beberapa puluh menit berlalu, salah satu di antara kami berempat, dipanggil menghadap HSE. Kami bertiga berbisik, menyangka yang dipanggil itu reaktif. Lalu muncullah analisa sebab-sebab kereaktifannya, karena terlalu memaksakan diri, tetap berolahraga walau tubuh lelah.
Setelah lama, yang dipanggil itu kembali. Kembali guna menyampaikan berita yang mengejutkan. Bukan dia yang reaktif, tapi kami bertiga. Saya terkejut menghadapi kenyataan yang tak terduga ini. Karena pekerjaannya tidak bisa dilakukan seorang diri, sehingga bapak HSEnya minta reschedule. Sebenarnya ada opsi lain, yaitu harus menjalani antigen. Namun lebih memilih reschedule, agar kami bisa beristirahat. Analisa yang muncul, reaktifnya karena tubuh yang kelelahan dan terkena flu. Iya, karena antibody test itu mendeteksi semua virus yang ada di badan, bukan hanya virus covid saja.
Jumat beristirahat di kantor, sedangkan sabtu dan minggunya beristirahat di rumah. Istirahat dalam sebenarnya arti istirahat, yang tidak melakukan kegiatan kantor--membuat laporan. Sehingga di saat kembali masuk kantor, kondisi tubuh sudah fit, walau masih ada sedikit flu.
Hari senin, kembali diterjang kerjaan yang cukup banyak. Sebelum memulai pekerjaan, diharuskan menjalani test di klinik pabriknya. Mulai cemas. Karena jika testnya antibody, kemungkinan besar hasilnya masih reaktif, karena flu yang belum sembuh. Jika reaktif, konsekensi lanjutannya reschedule. Beruntungnya, testnya justru antigen. Dan hasilnya, kami semua negatif.
Sampai saat ini, saya masih berpikir. Apa mungkin hasil reaktif di jumat itu adalah jawaban Gusti atas doa yang menginginkan beristirahat? Diberikan reaktif agar tak jadi bekerja, agar bisa mengistirahatkan diri sehingga badan kembali fit?
Tiba-tiba ingat tulisan postingan sebelumnya, bahwa cukup berdoa saja dan biarkan alam semesta mewujudkan doanya dengan caranya.
Semoga semua penghuni alam semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keseimbangan serta keselarasan.
Komentar
Posting Komentar