Melihat status WA, terbaca status tetangga kantor, yang marah karena sakit yang dialaminya membuat teman-temannya langsung memvonisnya terkena covid. Saat saya ceritakan status itu kepada three musketeers (3 teman kantor), saya yang terkejut.
Pasalnya beberapa hari yang lalu, di saat mereka bertemu dengan tetangga itu, keberadaan saya ditanyakan. Ya maklum, biasanya kami selalu berempat. Saat dibilang kalau saya sedang sakit, tetangga ini langsung memvonis kalau saya terkena covid. Setelah dijelaskan jika saya sakit lambung, barulah tetangga ini ber-O ria.
Saya diam sejenak, merenung. Baru saja kemarin memikirkan tentang karmaphala, ternyata pengalaman kembali mengajarkan. Memang pengajarannya simpel, hanya kasus memvonis. Tapi dari hal simpel ini, bisa lebih jelas menggambarkan hal kompleks di belakangnya.
Secara bahasa, karmaphala berasal dari 2 kata, yaitu karma dan phala. Karma berarti perbuatan, dan phala berarti buah atau hasil. Hasil perbuatan. Tapi ternyata, berdasarkan pengajaran dari pengalaman, perbuatan ini juga termasuk dengan perkataan dan pemikiran (prasangka).
Karmaphala ini bersesuaian dengan pepatah : menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Serupa dengan frase yang dikenalkan oleh leluhur : ngunduh wohing pakarti. Dalam ranah ilmiah, hal ini sejalan dengan hukum ke-3 Newton, atau yang dikenal dengan nama hukum aksi reaksi. Hampir serupa juga dengan hukum Archimides.
Sejak mengenal dan semakin dipahamkan oleh pengalaman, dari beberapa tahun silam, saya menjadi lebih berhati-hati dalam berkata, berpikir, dan berbuat. Frase diam itu emas, sering kali dilakukan, jika berkata dan bergerak itu ternyata membuat pihak lain merasa tak nyaman, insecure.
Pun di saat saya mendapatkan prilaku yang tak menyenangkan dari orang lain, baik difitnah, diprasangkakan, dan sebagainya, saya tak lagi berpikir dan berkata seperti dulu, "semoga dia mendapatkan balasan yang sesuai", tapi melihatnya sebagai, ini adalah balasan atau karmaphala dari apa yang sudah saya perbuat. Tak hanya tentang prarabdha karmaphala, tetapi juga tentang sanchita karmaphala, atau kryamana karmaphala.
Engkau berhak melakukan tugas kewajibanmu yang telah ditetapkan, tetapi engkau tak berhak atas hasil perbuatan. Jangan menganggap dirimu penyebab hasil kegiatanmu, dan jangan terikat pada kebiasaan tidak melakukan kewajiban. (Bhagavad gita II: 47)
Semoga semua mahluk penghuni semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keselarasan serta keseimbangan.
Komentar
Posting Komentar