Hembus Nafas Pertama


Dear Pram...ingatanku mulai pulih. Ternyata yang membuat patah hati begitu dalam, bukannya di saat menyadari hilangnya ingatan, tetapi di saat menyadari bahwa ingatan berangsur-angsur kembali. Dalam pengembalian ingatan itu, kutemui dirimu. Bukan dirimu yang sebelum ini, dan sebelumnya, dan sebelumnya, tetapi dirimu di awal permulaan, kala pertama kali nafas berhembus.

Ramanda pernah bercerita dan akupun diberikan gambaran tentang hal ini berkali-kali. Bahwa di pagi yang hangat itu, saat mentari bersinar kemerahan, Ramanda dikunjungi temannya yang datang membawa anaknya yang masih bayi mungil. Entah mengapa Ramanda langsung jatuh hati di saat melihatnya, melihat mata teduhnya yang menggambarkan kasih menyemesta, dan dengan segala keunggulannya, berkah anugerah para bijak. Bayi yang akhirnya mengilhami ramanda untuk melakukan yajnya, agar memperoleh anak. 

Segala hal tentang yajnya dipersiapkan, bahkan mengambil sedikit bagian dari rusukmu dan menyatukannya dengan sedikit bagian dari rusuk ramanda. Karena ramanda dan ayahmu berkeinginan agar anak-anaknya kelak bersama dan bersatu, demi meneruskan hal-hal yang selama ini dijaga, dipelihara, dan dilindungi oleh ramanda dan ayahmu. 

Yajnya dilakukan ramanda dengan sangat khusyuk. Bahkan ayahmu dan dirimu, pun ikut andil di dalamnya. Entah kenapa di tengah yajnya, pikiran ramanda berubah. Jika bisa mendapatkan 2 anak dalam sekali yajnya, kenapa harus 1? Jika bisa mendapatkan anak lelaki dan perempuan, kenapa harus perempuan saja? Padahal ayahmu sudah melarang ramanda untuk tak meneruskan keinginannya, tapi ramanda telah teguh dengan pendiriannya. 

Setelah sekian waktu, yajnya selesai dengan terdengarnya tangis bayi berulang-ulang. Dalam kobaran api suci, 2 bayi terlihat. Ramanda nampak sangat bahagia dan bersyukur, pun begitu juga dengan ayahmu. Kedua bayi yang masih berada dalam kobaran api suci itu, nampak serupa wajahnya dan juga cahaya yang melingkupinya. Ketika api sucinya padam, ramanda mendekati keduanya. Kedua bayi yang berselimutkan padma. 

Ramanda mendekati bayi pertama dan bersabda, "Duhai anak lelakiku, jadilah unggul dan tangguh, kuasai ilmu perang dan segala ilmu yang berkaitan dengan tugas keberadaanmu." Lantas ramanda mendekati bayi selanjutya dan kembali melakukan sabda, "Duhai anak perempuanku, jadilah perempuan tangguh yang menjadi partner hebat bagi kakakmu. Berdua kalian bersama untuk saling menghebatkan, dan melengkapi demi menjalankan tugas bersama demi kebaikan semesta." 

Usai bersabda, padma yang menyelimuti bayi-bayi mungil itu tersibak. Ternyata yang dianggap ramanda sebagai bayi lelaki, adalah bayi perempuan. Dan yang dianggap bayi perempuan, ternyata bayi lelaki. Ramanda terkejut, tapi sabda telah diucapkan dan tak bisa kembali ditarik. 

Ramanda mengambil kedua bayi itu dan mendekapnya. Di saat mendekap keduanya, ramanda diberikan gambaran tentang keduanya. Kedua anak yang menjadi seperti apa yang disabdakannya, namun berkebalikan. Anak perempuan yang bersikap seperti lelaki dan anak lelaki yang manis seperti anak perempuan. Keduanya begitu membanggakan. Semakin banyak gambaran yang muncul, semakin membuat ramanda bahagia. Hingga rona bahagia itu seketika berubah, kala gambaran selanjutnya muncul.

Ramanda mendatangi ayahmu dan menceritakan tentang gambaran terakhir yang dilihatnya. Ayahmu pun sama, rona bahagianya seketika menjadi muram. "Penyatuan ini harus dilakukan sekarang, agar hal itu tak terjadi. Tak perlu menunggu mereka sampai dewasa," ujar ayahmu. Ramanda setuju, karena sudah tak ada jalan lagi. 

Aku dan dirimu dibaringkan berdekatan di atas sebuah padma. Api suci berkobar mengitari. Darahku dan darahmu dipersatukan. Benang merah diikatkan. Ikatan suci yang diikatkan begitu dini, tapi itulah solusi terbaik yang harus dilakukan agar hal yang menakutkan bagi ramanda tak akan terjadi. 

Pramana Indra, namamu dipahatkan di jantungku. Ranaya Sumeru, namaku pun dipahatkan di jantungmu. Pahatan yang terus diperkuat dengan beragam mantra penguat. Hingga jalan selanjutnya diambil, aku dititipkan pada ayahmu, sengaja dipisahkan dengan kembaranku. 

Ayahmu sangat baik, kita dibesarkan bersama. Tumbuh bersama dalam kesamaan. Semua yang diajarkan padamu, diajarkan juga padaku. Awalnya aku merasa sebagai anak ayahmu, karena tak pernah dilakukan berbeda denganmu. Hingga di suatu hari, saat telah tinggal bertahun-tahun denganmu dan ayahmu, ramanda datang menjenguk bersama Rayana. Ramanda akhirnya memberitahukan semuanya. Aku begitu marah, karena merasa dibuang. Dalam kemarahan yang penuh dengan tangisan, aku pergi mengikuti ke mana kakiku melangkah. Lama waktu terlewati, jauh jarak tertempuh, hingga aku begitu keletihan dan tertidur di bawah pohon besar di tepi gunung.

Mataku terganggu saat sinar terik mentari menyinari. Saat mata terbuka, yang kulihat adalah dirimu. Kamu tahu kemana aku pergi, padahal tempat ini belum pernah kita datangi. Tak beberapa lama kemudian, ramanda, Rayana, dan ayahmu datang. Ramanda mengucapkan beribu maaf dan memberitahukan alasannya, bukan bermaksud membuangku dengan menitipkan pada ayahmu. Karenamu dan karena ayahmu, aku menerima permintaan maafnya, tetapi mengajukan sebuah syarat yang harus dipenuhi ramanda. Aku meminta tinggal bersama ramanda dan Rayana. 

Mesti ramanda terlihat berat menyetujuinya, tapi ramanda sungguh tak punya pilihan. Mesti terasa berat harus berpisah denganmu dan dengan ayahmu, namun aku harus menerimanya sebagai konsekuensi atas syarat yang sudah kuminta. "Sering datang ke rumahku ya," itu kata terakhir yang kuucapkan. Pelukmu menghambur. Terasa begitu hangat dan jantung ini terasa kuat dan lemah secara bersamaan. Sesuatu yang tak kumengerti karena apa dan mengapa, sehingga aku hanya diam dan menghentikan pelukmu, juga air yang menetes dari mata lembutmu. "Anak ayah tak boleh cengeng." Kau tersenyum. Lebih tepatnya, terpaksa tersenyum. 

Lalu aku pun pergi, bersama ramanda dan Rayana. Rayana yang kata ramanda adalah kembaranku, sehingga tak heran jika aku tak merasa asing dengannya, walau di perjumpaan pertama. Sedangkan ramanda, sama seperti dengan Rayana, merasa tak asing karena berkali-kali menyinggahi mimpi. 

Aku kembali ke sebuah tempat yang kupanggil rumah. Rumah yang telah sekian tahun kutinggalkan, karena alasan yang tak kutahu. Rayana yang sekian waktu dipisahan denganku, pun karena alasan yang tak dijelaskan. Pun ramanda yang sekian tahun tak kuketahui wajahnya, juga karena alasan yang tak dipaparkan. Aku kembali memulai segalanya. Segala hal baru yang sebenarnya tak baru. Maka di sinilah aku kini, bersama ramanda dan Rayana, pada sebuah rumah di puncak gunung, di mana aku menyaksikan dan mempelajari tentang terbit dan tenggelamnya matahari dan bulan. 

Semoga semua mahluk penghuni semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keselarasan serta keseimbangan. 

Akhirnya berani dituliskan, walau dengan air mata tertahan, 8 November 2021. 


Komentar