Kosong


Dear Pram...aku pikir tinggal bersama ramanda dan Rayana adalah keputusan terbaik, tapi nyatanya aku salah. Bukan, bukan karena aku tak bisa dekat dengan mereka. Aku bisa dekat begitu saja, tanpa perlu bersusah payah mengusahakannya. Tapi aku selalu merasa ada yang kurang, yang membuat hatiku merasa kosong yang begitu sangat. 

Lama kuteliti, nyatanya kosong yang kurasa itu karena ketiadaan dirimu. Bertahun-tahun hidup bersamamu, ternyata membuatku terlekati. Sehingga ketika terpisah, aku kehilanganmu. Kehilangan yang membuat hatiku begitu kosong. Apakah kau juga merasakan kekosongan yang sama sepertiku, Pram? 

Hari hari berlalu dengan pergerakan yang terasa sangat lambat, ini karena kulalui dengan penantian yang tak kunjung kutemui. Ya, aku menantikanmu. Menantimu mendatangiku, demi mengisi kekosongannya. Namun sepertinya kau tak merasakannya, sehingga tak jua datang.  

Akhirnya, aku terpaksa kembali lari dari kenyataan, dengan berlama-lama berdiam di tepi gunung. Pada tempat di mana kau menemukanku, sewaktu aku berlari dari ramanda yang datang mengaku sebagai ayahku. Di sana, aku memproyeksikanmu. Melukis wajahmu pada sebuah pohon, tempatku dahulu terbaring saat begitu kelelahan. Pada lukisan wajahmu, aku mulai menemukan apa yang sebelumnya hilang. Kekosongannya sudah mulai terisi, walau belum utuh. Sebegitu besarkah arti dirimu bagi diriku, Pram? 

Hari ini, aku memilih jalan yang berbeda untuk menuju ke tepi gunung. Keinginan untuk menemukan pengalaman dari perjalanan baru, nyatanya mengantarkanku pada hal yang begitu mengejutkan. Di sisi lain pohon yang kulukiskan wajahmu, ternyata juga terlukis wajahku. Dari halusnya pahatan lukisannya, aku berani menyimpulkan bahwa itu adalah karyamu. Sebagaimana mengajarimu melukis dan memahat, begitupula ayahmu mengajariku. Tanpa pernah membeda. Namun dalam hal-hal yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan mendalam, kau selalu lebih unggul dibandingkan denganku. 

Kali ini, aku tak asyik dengan duniaku sendiri, dengan selalu membayangkanmu di saat menatap lukisan wajahmu. Aku menajamkan mata dan telingaku, sehingga akhirnya aku menangkap sayup-sayup suaramu yang bersenandung tentang kehilangan dan kekosongan. Itu tentangku, Pram? 

Mungkin karena pohon ini berdiameter sangat besar, atau mungkin karena aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri, atau mungkin karena kau juga begitu masyuk dengan lamunanmu sendiri, sehingga kita tak saling menyadari kehadiran satu sama lain, padahal berhari-hari kita berada dalam tempat yang sama dan pada waktu yang sama pula. 

Aku mendatangimu dengan mengucap sebuah kalimat tajam, "Ternyata ada yang merindukanku dengan begitu sangat." Kau segera mengangkat wajahmu dari buku yang sejak tadi kau tekuni. Aku kembali melihat mata teduh yang sejak lama ingin kulihat. "Nayaa..." pekikmu tertahan. Lalu, aku merasakan kembali hangat yang menjalari tubuh, mengisi ruas tulang dan sendiri. Mengenergiku. Keberlimpahan terasa. Lalu kita terlarut dalam perbincangan yang dalam. Aku bahagia, Pram. 

Pohon besar di tepi gunung, itulah tempat yang selalu kita datangi setiap hari. Rasa yang pernah hilang karena keterpisahan, kembali kudapati. Kekosongan sudah tak ada. Aku utuh, penuh, karenamu. Kembai berenergi dan kembali bersemangat menjalani hari. 

Semoga semua mahluk penghuni semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keselarasan serta keseimbangan. 




  

 


 

Komentar