23 Jam Untuk Bangka

Bersandan di Pelabuhan Bakauheni 

Ketika ada yang tahu jika saya baru saja pulang dari Bangka, pertanyaannya sama, "naik pesawat berapa jam?" Saat saya bilang naik mobil, responnya terkejut. Tanya pun berlanjut, "berapa lama?" Saya menghitung, "23 jam." Naik mobil adalah solusi, karena harus membawa alat-alat kerja, yang tak memungkinkan dibawa naik pesawat. Capeknya terbayang, namun karena mencoba menikmati aneka pemandangan di perjalanannya, suasananya jadi menyenangkan. 
 
Di dalam kapal 
Dari kantor, berangkat pukul 00:00. Asumsi perjalanan ke Pelabuhan Merak sekitar 40 menit. Masuk kapal dijadwalkan di pukul 02:00, tapi harus sudah ada di dermaga pukul 01:00. Waktu perjalanan selama 60 menit. Namun karena banyaknya kendaraan yang mengantre, menyebabkan kendaraan kami masuk kapal di pukul 03:00. Mungkin mulai berlayar di pukul 03:30. Tak diketahui dengan jelas, karena pergerakan kapalnya tak terasa. Mungkin karena gelombang lautnya sedang landai, atau mungkin karena mengambil posisi tidur manis di kamar kapal. Yang diketahui, bersandar di pukul 05:00, namun baru bisa keluar kapal sekitar 30 menit kemudian, karena banyaknya kendaraan yang harus keluar. 

Mandi formalitas di rest area 😀
Rest area 208A, Gunung Terang - Lampung 

Selepas dari pelabuhan, menjalani jalan tol Lampung - Palembang sejauh 366 km, dengan beberapa kali berhenti di rest area. Baik untuk ke toillet, ataupun untuk mengisi bahan bakar. Usahakan mengisi bahan bakar full tank. Di pintu tol Kayu Agung, setelah berkendara selama hampir 5 jam, kendaraan kami keluar. Selanjutnya menuju Pelabuhan Tanjung Api Api, dengan waktu tempuh dengan istirahat salat dan makan, sekitar 3 jam. 

Di jelang pukul 15:00, kendaraan kami naik kapal untuk menuju ke Tanjung Kalian. Waktu tempuhnya selama 240 menit. Sengaja mengambil posisi di deck belakang, agar bisa jelas menyaksikan pergantian langit dari sore menuju senja. Karena kapal yang dinaiki tak sebesar kapal sebelumnya, membuat bisa berkeliling ke semua sisi kapal. Daya tampung kendaraannya pun tak banyak, sekitar 20 unit.


Pelabuhan Tanjung Api Api

Di saat sedang turun ke lantai di bawah deck, terlihat beberapa orang berlari panik sambil membawa APAR. Saya bertanya ke seorang ibu, beliau menjawab, "ada kebakaran di parkir kendaraan." Saya memastikan, "serius, Bu?" Beliau menjawab mantap sambil berargumen, "kenapa harus panik, kan banyak air di laut?" Saya kesal, "di laut memang banyak air bu, tapi kalau kapal terbakar, gak sesimpel itu solusinya." Saya langsung menuju deck atas bagian depan, agar bisa melihat kendaraan yang katanya terbakar.   


Truck yang disangka terbakar (sebelah kiri)



Saya sampai di posisi deck depan, di dekat ruang kemudi nahkoda. Melihat ke arah bawah, tak terlihat kobaran api. Dipikir sudah selesai dengan APAR, ternyata salah duga. Asap merah yang berasal dari truck pengangkut batu bata merah itu bukanlah api, tetapi kumpulan debu batu bata yang tertiup angin. Karena pekatnya debu yang membumbung ke atas dan terlihat jelas dari ruang kemudi, menyebabkan nahkoda mengumumkan itu sebagai peristiwa terbakar. Puji Gusti, kepanikan di diri mereda. 

Sunset di Selat Bangka  
Kembali lagi ke posisi deck belakang, agar bisa menyaksikan detik-detik pergantian waktu dan turunnya matahari. Awalnya dipikir tak akan bisa menyaksikan senja dalam pelayaran, karena sudah menemukan solusi agar bisa cepat naik kapal di Tanjung Api Api. Namun ternyata, terkendala di Pelabuhan Merak, sehingga yang terjadi di perjalanan tahun ini, adalah sama dengan perjalanan tahun lalu. Mungkin ini yang dinamakan takdir. Sesuatu yang sudah diusahakan dipercepat, namun ternyata berujung sama. 

Pelabuhan Tanjung Kalian di pagi hari
Sekitar pukul 19:00, kapal bersandar di Pelabuhan Tanjung Kalian, Muntok - Bangka. Suasana malam yang gelap semakin terasa mencekam, karena seringkali sendirian melaju di jalanan yang kiri kanannya lebih sering pepohonan dengan ketiadaan lampu penerang jalan. Hanya tiang reflektor jalan yang memantulkan cahaya. 

Untuk menuju tempat kost di Pangkalpinang, butuh waktu hampir 3 jam, ditambah waktu untuk salat dan makan. Menjelang pukul 23:00, sampailah di tempat tinggal sementara, di sebuah perumahan yang suasananya masih sejuk di waktu pagi namun menyengat di siang hari. Dan di sanalah saya selama 11 malam ke depan. 

Sebandingkah 23 jam untuk sampai di Bangka? Tergantung persepsi menyikapi rasanya. Jika mainsetnya sudah disetting lelah, maka tentu saja yang dirasakan hanya kelelahan. Tetapi jika mainsetnya disetting untuk menikmati perjalanan dan mempelajari makna perjalanan serta mengambil hikmah, maka tentu saja perjalanan itu akan terasa menyenangkan, walau tak mengesampingkan lelah yang terasa. 

Kota Beribu Senyuman 
Mari berperjalanan dan mengambil banyak kesempatan dari setiap perjalanannya. Kesempatan untuk semakin tahu, mulai mengerti, dan mencoba memahami. 

Semoga semua mahluk penghuni semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keseimbangan serta keselarasan. 

Komentar

Posting Komentar