Ketika ada yang tahu jika saya baru saja pulang dari Bangka, pertanyaannya sama, "naik pesawat berapa jam?" Saat saya bilang naik mobil, responnya terkejut. Tanya pun berlanjut, "berapa lama?" Saya menghitung, "23 jam." Naik mobil adalah solusi, karena harus membawa alat-alat kerja, yang tak memungkinkan dibawa naik pesawat. Capeknya terbayang, namun karena mencoba menikmati aneka pemandangan di perjalanannya, suasananya jadi menyenangkan.
Di dalam kapal |
Mandi formalitas di rest area 😀 |
Di jelang pukul 15:00, kendaraan kami naik kapal untuk menuju ke Tanjung Kalian. Waktu tempuhnya selama 240 menit. Sengaja mengambil posisi di deck belakang, agar bisa jelas menyaksikan pergantian langit dari sore menuju senja. Karena kapal yang dinaiki tak sebesar kapal sebelumnya, membuat bisa berkeliling ke semua sisi kapal. Daya tampung kendaraannya pun tak banyak, sekitar 20 unit.
Pelabuhan Tanjung Api Api |
Di saat sedang turun ke lantai di bawah deck, terlihat beberapa orang berlari panik sambil membawa APAR. Saya bertanya ke seorang ibu, beliau menjawab, "ada kebakaran di parkir kendaraan." Saya memastikan, "serius, Bu?" Beliau menjawab mantap sambil berargumen, "kenapa harus panik, kan banyak air di laut?" Saya kesal, "di laut memang banyak air bu, tapi kalau kapal terbakar, gak sesimpel itu solusinya." Saya langsung menuju deck atas bagian depan, agar bisa melihat kendaraan yang katanya terbakar.
Truck yang disangka terbakar (sebelah kiri) |
Saya sampai di posisi deck depan, di dekat ruang kemudi nahkoda. Melihat ke arah bawah, tak terlihat kobaran api. Dipikir sudah selesai dengan APAR, ternyata salah duga. Asap merah yang berasal dari truck pengangkut batu bata merah itu bukanlah api, tetapi kumpulan debu batu bata yang tertiup angin. Karena pekatnya debu yang membumbung ke atas dan terlihat jelas dari ruang kemudi, menyebabkan nahkoda mengumumkan itu sebagai peristiwa terbakar. Puji Gusti, kepanikan di diri mereda.
Sunset di Selat Bangka |
Kembali lagi ke posisi deck belakang, agar bisa menyaksikan detik-detik pergantian waktu dan turunnya matahari. Awalnya dipikir tak akan bisa menyaksikan senja dalam pelayaran, karena sudah menemukan solusi agar bisa cepat naik kapal di Tanjung Api Api. Namun ternyata, terkendala di Pelabuhan Merak, sehingga yang terjadi di perjalanan tahun ini, adalah sama dengan perjalanan tahun lalu. Mungkin ini yang dinamakan takdir. Sesuatu yang sudah diusahakan dipercepat, namun ternyata berujung sama.
Pelabuhan Tanjung Kalian di pagi hari |
Untuk menuju tempat kost di Pangkalpinang, butuh waktu hampir 3 jam, ditambah waktu untuk salat dan makan. Menjelang pukul 23:00, sampailah di tempat tinggal sementara, di sebuah perumahan yang suasananya masih sejuk di waktu pagi namun menyengat di siang hari. Dan di sanalah saya selama 11 malam ke depan.
Sebandingkah 23 jam untuk sampai di Bangka? Tergantung persepsi menyikapi rasanya. Jika mainsetnya sudah disetting lelah, maka tentu saja yang dirasakan hanya kelelahan. Tetapi jika mainsetnya disetting untuk menikmati perjalanan dan mempelajari makna perjalanan serta mengambil hikmah, maka tentu saja perjalanan itu akan terasa menyenangkan, walau tak mengesampingkan lelah yang terasa.
Kota Beribu Senyuman |
Semoga semua mahluk penghuni semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keseimbangan serta keselarasan.
Like
BalasHapusTerima Kasih. Semoga Bermanfaat.
Hapus