Kenapa Dia ?

Pengaturan Gusti dan semesta itu, seringkali tak terprediksikan. Seperti saat ingin berperjalanan ke timur, justru diperjalankan ke barat. One step closer. Semakin mendekati matahari terbenam. Apa karena sering sekali menunjukan tentang arah terbenamnya matahari?

Setelah lama berperjalanan, akhirnya tiba di tempat ini. Tempat yang sama seperti setahun yang lalu. Tempat yang sebenarnya cukup indah, namun sayangnya seperti menyimpan banyak kisah rahasia. Kisah yang mungkin akan terbuka, jika petunjuk awal itu dilakukan. Petunjuk untuk menghubungi seseorang yang secara logika manusia, sungguh tak mungkin. Ranah logika semesta, tak perlu dibahas.

Yang terjadi di tahun ini, nyatanya tak jauh berbeda dengan tahun kemarin. Waktu dan saat perjalanannya, juga kesan yang tertangkap di sepanjang perjalanannya. Tentang pergantian waktu di saat berlabuh. Bahwa dengan perlabuhan yang direstui semesta itu, menjadi sarana untuk kehadiran cahaya. Cahaya yang akan menerangi, membimbing, dan menunjuki arah perjalanan, sehingga menjadi jiwa yang tenang, yang bisa kembali dengan selamat dan diridhoi.

Tentang chandikkala yang merona di barat yang sejak begitu lama dikagumi, nyatanya kembali melihat rentetan alurnya. Dimulai dari langit siang, yang berwarna putih dan biru, dengan sedikit hitam. Lalu melihat bagaimana matahari mulai terlihat seperti turun, yang mengakibatkan warna langit bertambah banyak. Semakin lama, matahari semakin terlihat turun, memasuki lautan. Warna langit semakin terang dan merona. Rona yang menghadirkan sensasi lain. Rasa yang kembali. Rasa yang didamba, sejak awal mula itu, kali pertama. Ternyata perguliran-perguliran waktu tak bisa merubah penyusun dasar diri ini. Masih seperti yang pertama, yang mendamba senja dan bulan.

Tubuh baru saja memasuki daratannya, ketika seseorang yang pernah dilihat itu, kembali hadir. Menyapa dengan ramah, bertanya kabar, dan mendoakan dengan banyak kebaikan. Namun hal itu terasa menusuk, manakala dilanjutkan dengan bertanya tentangnya. Tentangnya yang ternyata sudah saya relakan ketidakterjadiannya, walau belum sepenuhnya dilepaskan dari ingatan. Masih dipantau :D

Berdasarkan data dan fakta yang tertemukan saat ini, melihat dan meneliti beragam kemungkinan, dengan segala efek dan risikonya, saya mantapkan hati dan diri untuk merelakannya. Walaupun jika dilihat dari data dan fakta sebelumnya, dari clue-clue yang saya dengarkan dari banyak orang, dari maksud dan tujuan hidup, kemungkinan besar jawabannya adalah dia. Namun nyatanya, saya tak mau memastikan sesuatu yang belum pasti. Apalagi kepastian itu akan berpeluang besar dalam menjatuhkan diri ke jurang. Sudah pernah jatuh ke jurang dalam, masa mau kembali jatuh? BODOH dong namanya.

Nyatanya hal yang sama kembali berulang, dengan seseorang yang lain di tempat yang lain pula, tepat ketika sedang menikmati kesyahduan aswamatra yang memesona. Dia datang entah dari mana, dan entah siapa, tak diketahui dan sungguh tak mau mencari tahu. Dia yang begitu saja bertanya tentangnya, lalu dilanjutkan meminta mengunjungi sebuah tempat, yang tentu saja saya jawab dengan “gak janji”. Ya bagaimana, belum jelas siapanya tapi sudah meminta sesuatu yang sedikit sulit.  

Kamu, ya kamu. Apakah daratan ini hanya merekam tentangmu dan saya adalah perekammu itu, sehingga beberapa orang yang mendatangi, hanya bertanya tentangmu saja? Saya yang belum sepenuhnya pulih pada tahap ingat-mengingat, tetapi enggan untuk mencari lebih dalam, apalagi sudah menyadari diri untuk merelakan, tentu saja merasa terganggu. Terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan itu, yang seakan menarik kembali diri ini untuk menuju pusaran rasa yang sudah sekuat tenaga saya tinggalkan.

Kamu, kenapa kamu yang lagi-lagi ditanyakan di daratan ini? Kenapa pula mereka banyak berharap dan mendoakan kita untuk kembali merendakan kisah lalu yang terjeda lautan luas. Sesuatu yang bernama tugas dan kewajiban itu, adalah yang membawamu pergi mengarungi lautan luas, menuju sebuah tempat yang asing bagi raga dan jiwamu. Sejenak sebelum dirimu dijeda lautan, ikrar itu terucap, “jika kesempatan kali ini habis, maka kesempatan selanjutnya ingin dimintakan kembali bersama.” Apakah saat ini adalah kesempatan itu? Tapi daratan ini terjeda jauh dari daratan itu, dan daratan ini bukanlah daratan di mana raga kita bertumbuh. Apakah daratan ini adalah titik awalnya? Titik awal yang mengawali segala kebaruan, yang sebenarnya hanya pengulangan dari segala yang sudah dijalani.

 

Semoga semua mahluk penghuni semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keseimbangan dan keselarasan.

Komentar