Pekuburan Sentosa

Nisan, genteng, dan awan, yang berpadu indah

Dua kali sudah ke Bangka. Dua kali juga ke RS Depati Hamzah. Dua kali juga naik ke rooftopnya, sehingga dua kali juga melihat deretan nisan-nisan dari pekuburan Sentosa. Kali pertama melihat, masih meraba-raba itu apa. Yang nampak dari kejauhan itu, hanya deretan keramik beraneka warna. Nampak luas. Saat diberitahu jika pekuburan, takjub sendiri. Seluas itu. 

Kali kedua melihat, tentunya sudah tak lagi bertanya. Hanya memandang dari kejauhan, sambil meraba-raba. Kira-kira berapa luas lahannya dan berapa jumlah makamnya. Ketika sedang asyik memperhatikan, seseorang mendekati. "Ke sana saja biar tahu sendiri. Ehipassiko," katanya. Saya diam sambil berpikir. Masuknya lewat mana dan untuk apa ke sana. Jika hanya untuk membuktikan sendiri, kok ya kurang kerjaan. Apa pula kata teman ketika saya memintanya untuk mengantarkan ke sana. Saya cuma menjawabnya dengan senyum dan sebaris kalimat, "Gak janji."

Penglihatan dari rooftop

Di minggu kedua itu, agenda kerjaan sudah selesai, begitu pula dengan laporan. Maka saya mengagendakan diri untuk jalan-jalan menjelajahi Pangkalpinang. Saya memilih mengambil kesempatan untuk tahu, mulai mengerti, dan mencoba memahami apa alasan dan tujuannya Gusti, kembali memperjalankan saya ke sini. 

Tujuan penjelajahan telah ditentukan. Merasa berdebar sendiri. Ketika akan memulai berperjalanan, ternyata harus mampir dulu mengurusi kerjaan. Lewat tengah hari, baru bisa memulainya. Tujuannya ke Pura Penataran Agung, dan Kuil Dewi Laut. "Kita lewat jalan cepat," kata teman. Saya manut saja, toh saya cuma duduk manis 😀   

Kendaraan kami melaju membelah Kota Pangkalpinang yang terik namun dihiasi awan hitam. Saya masih membuka ponsel dan sesekali memperhatikan jalanan. Hingga akhirnya mata ini menangkap deretan keramik aneka warna. Gusti...ternyata kendaraan kami melewati kompleks Pekuburan Sentosa. Ponsel saya taruh dan saya memperhatikan jalan yang kami lewati. Cukup luas, bahkan sangat luas. 


"Mitosnya kalau lewat sini, jalannya harus lurus terus. Kalau belok-belok, nanti kesasar," katanya. "Lah belokannya sebanyak itu, ya wajar kalau kesasar. Apalagi kalau baru pertama kali lewat" Saya melogikakan. Saya masih terus memperhatikan makamnya sambil menghirup napas panjang berkali-kali, hingga akhirnya waktu menuntun kendaraan kami keluar dan saya bisa bernapas lega. 


Inikah takdir itu? Sudah bilang gak janji dan hati pun tak menginginkannya, tapi ternyata melewatinya juga. Berperjalanan di pekuburan seluas 19,9 ha, dengan lebih dari 1200 makam, ternyata membuat diri ini menarik napas panjang berkali-kali. Apa rahasianya? Diingatkan bahwa ada kematian setelah kehidupan. 

Semoga semua mahluk penghuni semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keseimbangan serta keselarasan. 



Komentar