Seminggu telah berlalu di januari, ketika feed ig memperlihatkan seorang teman yang memposting ceritanya untuk challange 30 hari bercerita. Sebenarnya sudah tahu challange itu dari sekian tahun yang lalu, cuma belum tergerak untuk mengikutinya. Tapi ternyata postingan itu menginspirasi untuk melakukannya. Menulislah. Mungkin karena merasa punya banyak cerita yang bisa diceritakan.
Ceritanya dimulai. Bukan menuliskannya di feed, melainkan di story. Alasannya, agar bisa dikumpulkan di sorotan. Sehingga ketika ingin membacanya lagi, mudah untuk ditemukan.
Cerita yang diceritakan, dibuat dengan beragam tema. Yang banyak ditulis, ternyata tentang masa lalu. Jeda sekian sampai puluhan tahun lalu. Kisah-kisah di masa kecil, lengkap dengan segala kesenangan dan traumanya. Semacam rellease yang selama ini tersembunyi dan disembunyikan atas nama "saya dan segalanya sudah baik-baik saja".
Iqra kitabbaka itu terus dilakukan. Jauh dan semakin jauh, dalam dan semakin dalam, hingga tanpa sadar menyentuh ke bagian terdalam, yang tersembunyi begitu dalam di bawah sadar. Terkejut sendiri. Yang berusaha diingat, tak bisa ingat. Tapi saat merelakan ketidakingatannya, justru mengingat dengan begitu kuat. Ah...Gusti. Saya speechless.
Segala yang tertemukan itu dikumpulkan. Data-data dan fakta-fakta diruntukan secara sistematis, lengkap dengan segala perjalanannya. Hingga akhirnya mengerucut pada satu kesimpulan. Kesimpulan yang nyatanya menimbulkan banyak rasa dan susah berbahasa. Tersenyum sekaligus menerka-nerka akan seperti apa jalannya dan jalan selanjutnya. Kesimpulan yang clue-cluenya telah diberitakan oleh yang lain, namun masih saya sangkal dengan kalimat, "ra elok ndisiki Gusti."
Ok. Kesimpulannya dipegang kuat sambil mempersiapkan diri dengan aneka kejutan yang akan dihamparkan Gusti dan semesta. Baiklah, jika ini hasil akhirnya. Yeayyy...finally i am having my last. Melamun sendiri, lucu juga jadinya jika seperti itu. Titik akhir adalah titik awal.
Baik Gusti, terima kasih atas izinnya sehinga saya bisa membaca yang tersembunyi dan kesimpulan yang seperti itu. Kasih saya waktu untuk mempersiapkan diri. Dear you...dijelang seribu purnama, kita akan bertemu lagi.
Baru saja sampai dari sebuah perjalanan, ketika hati meminta untuk membuka bukunya. Dibukalah walau bertanya sendiri, ada apakah gerangan. Terbuka. Hanya bisa menyebut nama Gusti, ketika melihat kenyataan yang terjadi. Terdiam sekian saat, hingga ahirnya bisa tersenyum dan berujar, "Ok, saya salah menyimpulkan. Terburu-buru menyimpulkan karena merasa bisa membaca semuanya. Sudah sombong ya, padahal bilang jangan mendahului Gusti tapi ternyata sudah menyimpulkan lebih dulu. Gusti...saya minta ampun." Saat itu, bilang juga ke diri, "kalau kenyataan ini menyakitkan dan ingin menangis, menangis saja agar reda". Entah karena tegar atau apa, nyatanya tak ada setitikpun air mata yang menetes. Menangis di kedalaman hati? rasanya tidak. Biasa saja.
Walau di satu sisi merasakan keterkejutan yang sedikit melukai, namun nyatanya di sisi lain ada kelegaan, akhirnya mendapatkan jawaban, walau jawabannya tak pernah diduga. Yang diingat lagi, apapun jawaban dari Gusti adalah yang terbaik. Diterima dulu, walau belum tahu dan belum menemukan sisi kebaikannya.
Terima kasih Gusti atas segalanya. Saya akan belajar membaca lagi. Membaca saja, dan tak mau menyimpulkan, apalagi terburu-buru dalam menyimpulkan.
Semoga semua mahluk penghuni semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keseimbangan dan keselarasan.
Komentar
Posting Komentar