Kelenteng Dewi Laut

Dari sisi selatan 
Saat baru turun dari kendaraan, ketika berdiri di halaman Vihara Satya Dharma, di sisi kiri depan terlihat sebuah bangunan yang warnanya menarik mata, perpaduan kuning dan merah. Maka setelah selesai di Vihara, dan selesai di Pura Penataran Agung, langsung saja berkunjung ke sana.

Sesampainya di sana, terkejut sendiri. Ternyata sebuah kelenteng. Lengkapnya Kelenteng Dewi Laut / Shen Mu Miau. Ini sebuah berkah, pejumpaan yang begitu sangat manis. Sekali jalan, tiga tempat dikunjungi. Berdekatan pula jaraknya. Puji Gusti. 

Sisi Barat 
Setelah turun dari kendaraan, langsung masuk. Mencari seseorang untuk dimintai izin masuk. Begitu diizinkan, sungguh senangnya. Saya langsung melihat-lihat ke dalamnya. Mencoba mengenali sendiri arca dan simbol-simbol yang terlihat. Ekor mata menangkap bapak pemberi izin dan beberapa temannya nampak memperhatikan saya. Mungkin aneh melihat perempuan berkerudung memasuki kelenteng. 

Karena tak mengetahui semua arca yang terlihat (di bawah arca ada tulisan beraksara Han) dan tak bisa membaca semua simbol, maka saya mendatangi beliau, untuk bertanya. Raut wajahnya menunjukan suka cita. Mungkin di hatinya bersorak, "Akhirnya ditanya juga. Lagian sombong amat merasa bisa tahu dan membaca semuanya."  😀😀 

Menyadari beliau wellcome, maka saya tanyakan dari depan. Sekalian saja. Untuk menuju bagian dalam, di kanan kirinya berjejer lilin beraneka ragam ukuran. Dari lilin  berukuran paling kecil sampai ke lilin berukuran paling besar. Di belakang lilin, ada dua arca ukuran besar di sisi kanan dan kirinya. Di bagian kanan, kata beliau, adalah dewa penglihatan. Sedangkan di bagian kirinya adalah dewa pendengaran. Beliau menjelaskan, bahwa 2 indra inilah (penglihatan dan pendengaran) yang sering membuat manusia tergelincir ke kesalahan. 

Saya bertalksoul. Perjalanan untuk menuju Gusti itu, sebenarnya diterangi cahaya. Light will guide you home, seperti kata Coldplay di fix you. Cahaya itu intensitasnya beragam. Mulai dari redup di awal perjalanan, hingga sangat terang di pintu depan menuju-Nya. Namun rasa sudah berada di depan pintunya itu seringnya membuat tergelincir, merasa apa yang dilihat oleh mata dan apa yang didengar oleh telinganya, adalah kebenaran. Padahal, tak semuanya begitu. Ada rahasia di balik rahasia. Ada sisi batin, dibalik sisi lahir. Pun masih ada ruh, dari jiwa yang selama ini disangkakan sebagai kedalaman. Jangan mudah percaya apa yang dilihat mata, dan jangan mudah meyakini apa yang didengar telinga. Gunakan juga mata batin dan pendengaran jiwa. 




Saat berada di depan, hanya ada kongliong, tak ada pintunya. Yang nampak di depan mata, adalah sebuah arca yang begitu cantik, yang diapit oleh dua buah arca lainnya, dan di bagian bawah ada lagi satu arca. Mengetahui saya bingung, beliau menjawab tanpa ditanya. "Yang di tengah, itu Dewi Laut. Yang di kiri Budha Sakyamuni, yang di kanan .... (maaf saya lupa), dan yang di bawah Dewi Laut, itu Dewa Bumi." Saya cuma manggut-manggut. "Dewi Laut di kepercayaan Tionghoa ini, kalau di jawa, disebut Ratu Pantai Selatan," lanjut beliau. "Oo iya pak. Beda nama tapi sama maknanya ya," celetuk saya. "Lha iya, kan begitu ya. Namanya beda-beda, tapi maknanya sama. Jalannya beda-beda tapi tujuannya sama. Kan kelenteng ini juga menghadap ke selatan." Ucapan itu sontak membuat saya terkejut. "Lho menghadap ke selatan ya pak? Kebiasaan saya kalau di tempat baru, suka lupa arah mata angin." Beliau tersenyum, "Kan bisa melihat arah mataharinya." Saya tertawa pelan, "Mataharinya tertutup awan pak." Beliau ikutan tersenyum, "Ya gunakan mata batin."  

"Yang di paling depan itu perlambang Tuhan," ucap beliau tiba-tiba. "Yang mana pak?" Telunjuknya menunjuk ke satu arah. Mata ini mengikutinya. "Tuhan yang sudah tak bersimbol. Kalau Dewa masih bersimbol, ada bentuk arcanya. Kalau Tuhan, gak ada." Saya terdiam, merenungkan ucapannya. Lalu kami meneruskan obrolan terkait pemahaman agama. Walau agama kami berbeda, dengan ritual yang tentu saja berbeda, namun kami sama-sama memahami tentang makna dibalik nama yang berbeda. Obrolan yang menarik. Saya mendapatkan teman ngobrol yang seru dan seimbang. "Penglihatan matanya dijaga ya, juga pendengarannya. Jangan hanya melihat yang terlihat dan mendengar ya terdengar saja ya," pesannya ketika saya menyudahi melihat isi kelenteng, untuk kemudian beranjak ke sisi depan. 

Yang beliau maksudkan itu, berada di sisi bagian depan. Sendirian dalam bangunan berbentuk segi delapan, yang terpisah dengan bangunan kelenteng. Mungkin segi delapan yang dimaksudkan ini menggambarkan tentang 8 arah mata angin. Di bagian bawahnya, terdapat arca naga yang berlatarkan laut. Sedangkan di sisi kanan dan kirinya, ada 2 buah bangunan menara segi delapan yang setiap sisi bangunannya diisi beragam dewa. Sementara di depannya lagi, ada 12 arca hewan yang melambangkan shio dalam budaya Tionghoa. Yaitu tikus, kerbao, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan babi. 
Saya sungguh menikmatinya. Menikmati kedamaian tiada tara. Kelenteng yang mendamaikan, berlatar pemandangan laut yang indah. Debur ombak dan semilir angin yang melenakan dan semakin membuat diri merasakan belaian semesta. 
Semoga semua mahluk penghuni semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keseimbangan serta keselarasan.   

Komentar